Kamis, 17 Juli 2014

Makalah Toksikologi Analisis NAPZA ZAT ADIKTIF ''ALKOHOL''

Toksikologi Analisis NAPZA ZAT ADIKTIF '' ALKOHOL''

ALKOHOL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEHATAN MENTAL

 OLEH : SISILIA
NIM     : AKS.2.12.069
KELAS : ANAKES B 12
       
         ABSTRAK
Etanol adalah senyawa golongan alkohol yang dalam konsentrasi tertentu diperbolehkan ada dalam minuman. Salah satu minuman beralkohol yang terkenal di Bali adalah arak. Kandungan etanol dalam arak bervariasi tergantung dari proses destilasi yang dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah mendeteksi etanol dalam urin sukarelawan yang telah mengkonsumsi arak selama dua minggu dengan Gas Chromatography detektor ionisasi nyala (GC-FID). Larutan standar yang digunakan adalah metanol, etanol, dan asam asetat dengan larutan standar internal adalah butanol. Sampel urin sukarelawan ditampung dalam waktu yang bervariasi setelah mengkonsumsi arak selama dua minggu. Kisaran kadar etanol setelah 4, 8, 12, 16, 20, dan 24 jam setelah konsumsi dua minggu terakhir berturut – turut adalah (8,86 – 8,98) x 10-2 ; (8,06 – 8,46) x 10-2; (8,81 – 8,93) x 10-2; (7,47 – 7,73) x 10-2; (8,76 – 8,89) x 10-2; dan (8,15 – 8,27) x 102 % (b/v).
Kata kunci : etanol, urin, arak, Gas Chromatography
BAB I
PENDAHULUAN
2.1. NAPZA
2.1.1. Pengertian NAPZA
           NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis, serta menimbulkan ketergantungan (BNN, 2004).
           NAPZA adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian tubuh orang yang mengonsumsinya. Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang dikonsumsi (Kemenkes RI, 2010).
           NAPZA merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, alkohol dan bahan adiktif lainnya. Menurut Rice (1999)napza secara umum dikategorikan dalam 6 jenis, narkotika, stimulan, depressants, hallucinogens,ganja dan inhalant. Opium dan derivatenya (hasil pengolahan dari ampasopium), yaitu morfin, heroin dan codeine. termasuk dalam jenis narkotika. Amphetamine termasuk jenis stimulan. Depressantsyang berfungsi sebagai obat penenang atau obat tidur antara lain adalahtransquilizer. Jenis hallucinogens memiliki beberapa contoh antara lain ekstasi dan LSD. Inhalant merupakan jenis napza yang dikonsumsi dengan cara dihirup, contohnya, cairan pembersih kutek, pelekat plastik, bensin, cairan pembersih, tiner dan zat-zat hidrokarbon lainnya yang menyebabkan keracunan bila dihirup secara berlebihan. Jenis-jenis napza yang paling banyak disalahgunakan adalah heroin, ganja, ekstasi, shabu-shabu danamphetamine(Yayasan Cinta Anak Bangsa-YCAB)Berbagai penjelasan tentang jenis-jenis napza oleh YCAB (sebuah yayasan yang memberi rehabilitasi pada para korban penyalahgunaan napza) adalah sebagai berikut. Heroin merupakan obat terlarang yang sangat keras dengan zat adiktif tinggi dan dapat berbentuk butiran, tepung atau cairan. Salah satu jenis heroin yang popular saat ini adalah putauw. Heroin menyebabkan ketergantungan dengan cepat bagi pengkonsumsinya, baik secara fisik maupun mental, sehingga usaha mengurangi pemakaiannya menimbulkan rasa sakit dan kejang-kejang bila konsumsi dihentikan. Ganja mengandung zat kimia yang dapat mempengaruhi perasaan, penglihatan dan pendengaran ketika dikonsumsi. Efek-efek yang ditimbulkan ganja yaitu: kehilangan konsentrasi, peningkatan denyut jantung, kehilangan keseimbangan dan koordinasi tubuh, rasa gelisah, panik, depresi,kebingungan atau halusinasi.
 2.1.2. Jenis–Jenis NAPZA
              NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya. Tiap jenis dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kelompok.
1. Narkotika
       Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
   
        Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari “cengkraman”-nya.
Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis narkotika dibagi ke   dalam 3 kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III. :
a.    Narkotika golongan I adalah :
Narkotika yang paling berbahaya. Daya adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contohnya ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain.
b. Narkotika golongan II adalah :
                  Narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain.
c.    Narkotika golongan III adalah :
                 Narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi bermanfaat untuk   
      pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein dan turunannya.
1.      Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa (psyche).
Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997, psikotropika dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yaitu :
a.       Golongan I adalah :
                 Psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya. Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP.
b.      Golongan II adalah :
Psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin, metamfetamin, metakualon, dan sebagainya.
c.       Golongan III adalah :
Psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam, dan sebagainya.
d.      Golongan IV adalah :
Psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah nitrazepam (BK, mogadon, dumolid), diazepam, dan lain-lain.
3. Bahan Adiktif Lainnya
Golongan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan. Contohnya :
a. Rokok
b.Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan    
    menimbulkan ketagihan.
c. Thinner dan zat-zat lain, seperti lem kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin, yang bila dihisap, dihirup, dan dicium, dapat memabukkan.
    Jadi, alkohol, rokok, serta zat-zat lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan juga tergolong NAPZA.
Berdasarkan proses pembuatannya di bagi ke dalam 3 Golongan :
1.      Alami yaitu jenis ata zat yang diambil langsung dari alam tanpa adanya proses   
fermentasi atau produksi mslnya : Ganja, Mescaline, Psilocybin, Kafein, Opium.
2.      Semi Sintesis yaitu jenis zat/obat yang diproses sedemikian rupa melalui proses   
fermentasi mislnya : Morfin, Heroin, Kodein, Crack.
3.   Sintesis yaitu jenis zat yang dikembangkan untuk keperluan medis yang
      juga untuk menghilangkan rasa sakit misal;nya : petidin, metadon,
      dipipanon, dekstropropokasifen.
Menurut efek yang di timbulkan di bagi dalam 3 golongan:
1.  Depresan adalah zat atau jenis obat yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional  tubuh. Jenis ini dapat membuat pemakai merasa tenang bahkan tertitur atau tak sadarkan diri misalnya opioda, opium atau putau , morfin, heroin, kodein opiat sintesis.
2. Stimulan adalah zat atau obat yang dapat merangsang fungsi tubuh dan   
meningkatkan gairah kerja serta kesadaran misalnya : kafein, kokain, nikotin amfetamin atau sabu-sabu.
3.      Halusinogen zat atau obat yang menimbulkan efek halusinasi yang bersifat  merubah perasaan dan fikiran misalnya : Ganja, Jamur Masrum Mescaline, psilocybin, LSD.
2.1.3. Penyalahgunaan NAPZA
Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial. Sebetulnya NAPZA banyak dipakai untuk kepentingan pengobatan, misalnya menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit. Tetapi karena efeknya “enak” bagi pemakai, maka NAPZA kemudian dipakai secara salah, yaitu bukan untuk pengobatan tetapi untuk mendapatkan rasa nikmat. Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan pengguna merasa ketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan kerusakan fisik.
Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
Ketergantungan terhadap NAPZA dibagi menjadi 2, yaitu (Sumiati, 2009):
a. Ketergantungan fisik adalah keadaan bila seseorang mengurangi atau menghentikan penggunaan NAPZA tertentu yang biasa ia gunakan, ia akan mengalami gejala  putus zat. Selain ditandai dengan gejala putus zat, ketergantungan fisik juga dapat ditandai dengan adanya toleransi.
b Ketergantungan psikologis adalah suatu keadaan bila berhenti menggunakan NAPZA tertentu, seseorang akan mengalami kerinduan yang sangat kuat untuk  menggunakan NAPZA tersebut walaupun ia tidak mengalami gejala fisik.
2.1.4. Tahapan Pemakaian NAPZA
Ada beberapa tahapan pemakaian NAPZA yaitu sebagai berikut :
1. Tahap pemakaian coba-coba (eksperimental)
Karena pengaruh kelompok sebaya sangat besar, remaja ingin tahu atau coba-coba. Biasanya mencoba mengisap rokok, ganja, atau minum-minuman beralkohol. Jarang yang langsung mencoba memakai putaw atau minum pil ekstasi.
2. Tahap pemakaian sosial
Tahap pemakaian NAPZA untuk pergaulan (saat berkumpul atau pada acara tertentu), ingin diakui/diterima kelompoknya. Mula-mula NAPZA diperoleh secara gratis atau dibeli dengan murah. Ia belum secara aktif mencari NAPZA.
3. Tahap pemakaian situasional
Tahap pemakaian karena situasi tertentu, misalnya kesepian atau stres. Pemakaian NAPZA sebagai cara mengatasi masalah. Pada tahap ini pemakai berusaha memperoleh NAPZA secara aktif.
4. Tahap habituasi (kebiasaan)
            Tahap ini untuk yang telah mencapai tahap pemakaian teratur (sering), disebut juga penyalahgunaan NAPZA, terjadi perubahan pada faal tubuh dan gaya hidup. Teman lama berganti dengan teman pecandu. Ia menjadi sensitif, mudah tersinggung, pemarah, dan sulit tidur atau berkonsentrasi, sebab narkoba mulai menjadi bagian dari kehidupannya. Minat dan cita-citanya semula hilang. Ia sering membolos dan prestasi sekolahnya merosot. Ia lebih suka menyendiri daripada berkumpul bersama keluarga.
5. Tahap ketergantungan
Ia berusaha agar selalu memperoleh NAPZA dengan berbagai cara. Berbohong, menipu, atau mencuri menjadi kebiasaannya. Ia sudah tidak dapat mengendalikan penggunaannya. NAPZA telah menjadi pusat kehidupannya. Hubungan dengan keluarga dan teman-teman rusak.
Pada ketergantungan, tubuh memerlukan sejumlah takaran zat yang dipakai, agar ia dapat berfungsi normal. Selama pasokan NAPZA cukup, ia tampak sehat, meskipun sebenarnya sakit. Akan tetapi, jika pemakaiannya dikurangi atau dihentikan, timbul gejala sakit. Hal ini disebut gejala putus zat (sakaw). Gejalanya bergantung pada jenis zat yang digunakan. Orang pun mencoba mencampur berbagai jenis NAPZA agar dapat merasakan pengaruh zat yang diinginkan, dengan risiko meningkatnya kerusakan organ-organ tubuh.
Gejala lain ketergantungan adalah toleransi, suatu keadaan di mana jumlah NAPZA yang dikonsumsi tidak lagi cukup untuk menghasilkan pengaruh yang sama seperti yang dialami sebelumnya. Oleh karena itu, jumlah yang diperlukan meningkat. Jika jumlah NAPZA yang dipakai berlebihan (overdosis), dapat terjadi kematian (Harlina, 2008).
2.1.5. Faktor Risiko Penyalahgunaan NAPZA
Menurut Soetjiningsih (2004), faktor risiko yang menyebabkan penyalahgunaan NAPZA antara lain faktor genetik, lingkungan keluarga, pergaulan (teman sebaya), dan karakteristik individu.
1. Faktor Genetik
      Risiko faktor genetik didukung oleh hasil penelitian bahwa remaja dari orang tua kandung alkoholik mempunyai risiko 3-4 kali sebagai peminum alkohol dibandingkan remaja dari orang tua angkat alkoholik. Penelitian lain membuktikan remaja kembar monozigot mempunyai risiko alkoholik lebih besar dibandingkan remaja kembar dizigot.
2. Lingkungan Keluarga.
Pola asuh dalam keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap penyalahgunaan NAPZA. Pola asuh orang tua yang demokratis dan terbuka mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA lebih rendah dibandingkan dengan pola asuh orang tua dengan disiplin yang ketat.
Fakta berbicara bahwa tidak semua keluarga mampu menciptakan kebahagiaan bagi semua anggotanya. Banyak keluarga mengalami problem-problem tertentu. Salah satunya ketidakharmonisan hubungan keluarga. Banyak keluarga berantakan yang ditandai oleh relasi orangtua yang tidak harmonis dan matinya komunikasi antara mereka.
Ketidak harmonisan yang terus berlanjut sering berakibat perceraian. Kalau pun keluarga ini tetap dipertahankan, maka yang ada sebetulnya adalah sebuah rumah tangga yang tidak akrab dimana anggota keluarga tidak merasa betah. Orangtua sering minggat dari rumah atau pergi pagi dan pulang hingga larut malam. Ke mana anak harus berpaling? Kebanyakan diantara penyalahguna NAPZA mempunyai hubungan yang biasa-biasa saja dengan orang tuanya. Mereka jarang menghabiskan waktu luang dan bercanda dengan orang tuanya (Jehani, dkk, 2006).
3. Pergaulan (Teman Sebaya)
Di dalam mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAPZA, teman kelompok sebaya (peer group) mempunyai pengaruh yang dapat mendorong atau mencetuskan penyalahgunaan NAPZA pada diri seseorang. Menurut Hawari (2006) perkenalan pertama dengan NAPZA justru datangnya dari teman kelompok. Pengaruh teman kelompok ini dapat menciptakan keterikatan dan kebersamaan, sehingga yang bersangkutan sukar melepaskan diri. Pengaruh teman kelompok ini tidak hanya pada saat perkenalan pertama dengan NAPZA, melainkan juga menyebabkan seseorang tetap menyalahgunakan NAPZA, dan yang menyebabkan kekambuhan (relapse).
Bila hubungan orangtua dan anak tidak baik, maka anak akan terlepas ikatan psikologisnya dengan orangtua dan anak akan mudah jatuh dalam pengaruh teman kelompok. Berbagai cara teman kelompok ini memengaruhi si anak, misalnya dengan cara membujuk, ditawari bahkan sampai dijebak dan seterusnya sehingga anak turut menyalahgunakan NAPZA dan sukar melepaskan diri dari teman kelompoknya.
Marlatt dan Gordon (1980) dalam penelitiannya terhadap para penyalahguna NAPZA yang kambuh, menyatakan bahwa mereka kembali kambuh karena ditawari oleh teman-temannya yang masih menggunakan NAPZA (mereka kembali bertemu dan bergaul). Kondisi pergaulan sosial dalam lingkungan yang seperti ini merupakan kondisi yang dapat menimbulkan kekambuhan. Proporsi pengaruh teman kelompok sebagai penyebab kekambuhan dalam penelitian tersebut mencapai 34%.
4. Karakteristik Individu Umur
Berdasarkan penelitian, kebanyakan penyalahguna NAPZA adalah mereka yang termasuk kelompok remaja. Pada umur ini secara kejiwaan masih sangat labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan sedang mencari identitas diri serta senang memasuki kehidupan kelompok. Hasil temuan Tim Kelompok Kerja Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba Departemen Pendidikan Nasional menyatakan sebanyak 70% penyalahguna NAPZA di Indonesia adalah anak usia sekolah (Jehani, dkk, 2006).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2004) proporsi penyalahguna NAPZA tertinggi pada kelompok umur 17-19 tahun (54%).
     a . Pendidikan
Menurut Friedman (2005) belum ada hasil penelitian yang menyatakan apakah pendidikan mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA. Akan tetapi, pendidikan ada kaitannya dengan cara berfikir, kepemimpinan, pola asuh, komunikasi, serta pengambilan keputusan dalam keluarga.
     Hasil penelitian Prasetyaningsih (2003) menunjukkan bahwa pendidikan penyalahguna NAPZA sebagian besar termasuk kategori tingkat pendidikan dasar (50,7%). Asumsi umum bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin mempunyai wawasan/pengalaman yang luas dan cara berpikir serta bertindak yang lebih baik. Pendidikan yang rendah memengaruhi tingkat pemahaman terhadap informasi yang sangat penting tentang NAPZA dan segala dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, karena pendidikan rendah berakibat sulit untuk berkembang menerima informasi baru serta mempunyai pola pikir yang sempit.
     b. Pekerjaan
Hasil studi BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia tahun 2009 di kalangan pekerja di Indonesia diperoleh data bahwa penyalahguna NAPZA tertinggi pada karyawan swasta dengan prevalensi 68%, PNS/TNI/POLRI dengan prevalensi 13%, dan karyawan BUMN dengan prevalensi 11% (BNN, 2010).
2.1.6.  Dampak Penyalahgunaan NAPZA
1. Terhadap kondisi fisik
a)      Akibat zat itu sendiri
Termasuk di sini gangguan mental organik akibat zat, misalnya intoksikasi yaitu suatu perubahan mental yang terjadi karena dosis berlebih yang memang diharapkan oleh pemakaiannya. Sebaliknya bila pemakaiannya terputus akan terjadi kondisi putus zat.
                    Contohnya :
a.1. Ganja :
              Pemakaian lama menurunkan daya tahan sehingga mudah terserang     
       infeksi. Ganja juga memperburuk aliran darah koroner.
a.2. Kokain :
       Bisa terjadi aritmia jantung, ulkus atau perforasi sekat hidung, jangka  panjang terjadi anemia dan turunnya berat badan.
          a.3. Alkohol :
       Menimbulkan banyak komplikasi, misalnya : gangguan lambung,kanker usus, gangguan hati, gangguan pada otot jantung dan saraf, gangguan metabolisme, cacat janin dan gangguan seksual.
b)      Akibat bahan campuran/pelarut : bahaya yang mungkin timbul : infeksi, emboli.
c)      Akibat cara pakai atau alat yang tidak steril Akan terjadi infeksi, berjangkitnya                 AIDS atau hepatitis.
d)     Akibat pertolongan yang keliru Misalnya dalam keadaan tidak sadar diberi minum.
e)      Akibat tidak langsung
Misalnya terjadi stroke pada pemakaian alkohol atau malnutrisi karena  gangguan absorbsi pada pemakaian alkohol.
f)       Akibat cara hidup pasien
                    Terjadi kurang gizi, penyakit kulit, kerusakan gigi dan penyakit kelamin.
2. Terhadap kehidupan mental emosional
             Intoksikasi alkohol atau sedatif-hipnotik menimbulkan perubahan pada kehidupan mental emosional yang bermanifestasi pada gangguan perilaku tidak wajar. Pemakaian ganja yang berat dan lama menimbulkan sindrom amotivasional. Putus obat golongan amfetamin dapat menimbulkan depresi sampai bunuh diri.
            3. Terhadap kehidupan sosial
     Gangguan mental emosional pada penyalahgunaan obat akan mengganggu fungsinya sebagai anggota masyarakat, bekerja atau sekolah. Pada umumnya prestasi akan menurun, lalu dipecat/dikeluarkan yang berakibat makin kuatnya dorongan untuk menyalahgunakan obat.
     Dalam posisi demikian hubungan anggota keluarga dan kawan dekat pada umumnya terganggu. Pemakaian yang lama akan menimbulkan toleransi, kebutuhan  akan zat bertambah. Akibat selanjutnya akan memungkinkan terjadinya tindak kriminal, keretakan rumah tangga sampai perceraian. Semua pelanggaran, baik norma sosial maupun hukumnya terjadi karena kebutuhan akan zat yang mendesak dan pada keadaan intoksikasi yang bersangkutan bersifat agresif dan impulsif (Alatas, dkk, 2006).
2.1.7. Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA
Pencegahan penyalahgunaan NAPZA, meliputi (BNN, 2004) :
1. Pencegahan primer .
Pencegahan primer atau pencegahan dini yang ditujukan kepada mereka, individu, keluarga, kelompok atau komunitas yang memiliki risiko tinggi terhadap penyalahgunaan NAPZA, untuk melakukan intervensi agar individu, kelompok, dan masyarakat waspada serta memiliki ketahanan agar tidak menggunakan NAPZA. Upaya pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia dini, agar faktor yang dapat menghabat proses tumbuh kembang anak dapat diatasi dengan baik.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan pada kelompok atau komunitas yang sudah menyalahgunakan NAPZA. Dilakukan pengobatan agar mereka tidak menggunakan NAPZA lagi.
3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier ditujukan kepada mereka yang sudah pernah menjadi penyalahguna NAPZA dan telah mengikuti program terapi dan rehabilitasi untuk menjaga agar tidak kambuh lagi. Sedangkan pencegahan terhadap penyalahguna  NAPZA yang kambuh kembali adalah dengan melakukan pendampingan yang dapat membantunya untuk mengatasi masalah perilaku adiksinya, detoksifikasi, maupun dengan melakukan rehabilitasi kembali.
2.1.8 Terapi dan Rehabilitasi
1. Terapi
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:
a. Detoksifikasi Tanpa Subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.
b. Detoksifikasi dengan Substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut (Purba, 2008).
2. Rehabilitasi
            Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah upaya memulihkan dan mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna NAPZA kembali sehat dalam arti sehat fisik, psikologik, sosial, dan spiritual. Dengan kondisi sehat tersebut diharapkan mereka akan mampu kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari.
Menurut Hawari (2006) jenis-jenis rehabilitasi antara lain :
a. Rehabilitasi Medik
Dengan rehabilitasi medik ini dimaksudkan agar mantan penyalahguna NAPZA benar-benar sehat secara fisik. Termasuk dalam program rehabilitasi medik ini ialah memulihkan kondisi fisik yang lemah, tidak cukup diberikan gizi makanan yang bernilai tinggi, tetapi juga kegiatan olahraga yang teratur disesuaikan dengan kemampuan masing-masing yang bersangkutan.
b. Rehabilitasi Psikiatrik
Rehabilitasi psikiatrik ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi yang semula bersikap dan bertindak antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan baik dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing atau mengasuhnya.
Termasuk rehabilitasi psikiatrik ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai “rehabilitasi” keluarga terutama bagi keluarga-keluarga broken home. Konsultasi keluarga ini penting dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang terlibat penyalahgunaan NAPZA, bagaimana cara menyikapinya bila kelak ia telah kembali ke rumah dan upaya pencegahan agar tidak kambuh.
c. Rehabilitasi Psikososial
Dengan rehabilitasi psikososial ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi dapat kembali adaptif bersosialisasi dalam lingkungan sosialnya, yaitu di rumah, di sekolah/kampus dan di tempat kerja. Program ini merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali dengan pendidikan dan keterampilan misalnya berbagai kursus ataupun balai latihan kerja yang dapat diadakan di pusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila mereka telah selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali ke sekolah/kuliah atau bekerja.
d. Rehabilitasi Psikoreligius
Rehabilitasi psikoreligius memegang peranan penting. Unsur agama dalam rehabilitasi bagi para pasien penyalahguna NAPZA mempunyai arti penting dalam mencapai penyembuhan. Unsur agama yang mereka terima akan memulihkan dam memperkuat rasa percaya diri, harapan dan keimanan. Pendalaman, penghayatan dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini akan menumbuhkan kekuatan kerohanian pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA.
e. Forum Silaturahmi
Forum silaturahmi merupakan program lanjutan (pascarehabilitasi) yaitu program atau kegiatan yang dapat diikuti oleh mantan penyalahguna NAPZA (yang telah selesai menjalani tahapan rehabilitasi) dan keluarganya. Tujuan yang hendak dicapai dalam forum silaturahmi ini adalah untuk memantapkan terwujudnya rumah tangga/keluarga sakinah yaitu keluarga yang harmonis dan religius, sehingga dapat memperkecil kekambuhan penyalahgunaan NAPZA.
    f. Program Terminal
Pengalaman menunjukkan bahwa banyak dari mereka sesudah menjalani program rehabilitasi dan kemudian mengikuti forum silaturahmi, mengalami kebingungan untuk program selanjutnya. Khususnya bagi pelajar dan mahasiswa yang karena keterlibatannya pada penyalahgunaan NAPZA di masa lalu terpaksa putus sekolah menjadi pengangguran; perlu menjalani program khusus yang dinamakan program terminal (re-entry program), yaitu program persiapan untuk kembali melanjutkan sekolah/kuliah atau bekerja.
2.2. Konsep Perilaku
2.2.1. Pengertian Perilaku
Dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010). Skinner merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses : Stimulus Organisme Respon, sehingga teori Skinner ini disebut teori “SOR”.
Berdasarkan Teori SOR, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua,  yakni :
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Perilaku terbuka terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar.
Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010) :
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya).
2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.
3. Tindakan atau praktik (Practice)
Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.
2.2.2. Determinan Perilaku
Green (1980) menganalisis faktor perilaku ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu :
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor)
Yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)
             Yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan.
3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)
Yaitu faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang, meskipun orang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya.
2.2.3. Konsep Dasar Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan, dan sebagainya. 
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebgainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram terhadap pengetahuan atas objek tersebut.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. 
f. Evaluasi
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Pengetahuan menjadi landasan penting untuk menentukan suatu tindakan. Pengetahuan, sikap dan perilaku akan kesehatan merupakan faktor yang menentukan dalam mengambil suatu keputusan (Notoatmodjo, 2003).
2.2.4. Konsep Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2007).
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni (Notoatmodjo, 2007) :
1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan, bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (Responding)
     Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (Voluing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
2.2.5. Konsep Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Tindakan ini mempunyai beberapa tingkatan (Notoatmodjo, 2007).
1. Persepsi (perception)
      Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
2. Respons terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.
3. Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.
4. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
2.3. Motivasi 2.3.1. Pengertian Motivasi
Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 1989).
Sedangkan menurut Daft dan Marcic (2008) motivasi adalah kekuatan yang membangkitkan semangat dan ketekunan untuk mengejar tindakan tertentu.
2.3.2. Pembagian Motivasi
Ada dua jenis motivasi yaitu:
1. Motivasi Internal
Yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang.
2. Motivasi Eksternal
Yaitu motivasi yang berasal dari luar diri seseorang.
           Motivasi pada penyalahguna NAPZA dapat diartikan suatu perilaku seseorang yang didorong untuk terlepas dari suatu penyakit atau rasa ketergantungan terhadap NAPZA terutama para remaja yang mengalami masa transisi atau pencarian identitas diri, dimana mudahnya terpengaruh oleh lingkugan luar atau sutau kelompok yang membawa pengaruh besar terhadap remaja tersebut untuk ke arah yang negatif, begitupun sebaliknya (Iryani, 2007).
2.4. Kambuh Kembali
2.4.1. Pengertian Kambuh Kembali
Kambuh kembali yaitu wujud perilaku menyimpang atau manifestasi ketidakmampuan individu menjalankan fungsinya dengan baik, yang berlangsung secara progresif. Gejala-gejala itu meningkat dan akhirnya ia memakai NAPZA, agar bebas dari tekanan (Martono, 2008).
Sedangkan menurut Nasution (2004) kambuh kembali adalah seseorang yang sudah sembuh dari penyalahgunaan NAPZA yang kembali menggunakannya.
2.4.2. Faktor – Faktor Penyebab
Adapun yang menjadi faktor penyebab kambuh kembali pada penyalahguna NAPZA adalah sebagai berikut (Nasution, 2004) :
a. Mantan penyalahguna NAPZA yang sudah pulih seringkali mengalami euforia. Mereka cenderung mabuk dengan keberhasilannya, lalu menjadi sombong dan serakah.Ia melupakan unsur-unsur penopang keberhasilannya. Mabuk keberhasilan, ditambah dengan keserakahan itulah yang membuatnya lengah dan kembali memakai NAPZA.
b. Stress. Mungkin mantan penyalahguna NAPZA banyak beban atau juga sering menyalahkan dirinya sendiri. Semua itu membuatnya stress. Seperti yang pernah dulu ia alami dan lakukan, setiap kali mengalami masalah, ia lari ke NAPZA. Ia ingin lari dari kenyataan.
c. Kepribadian yang tidak tahan perubahan. Mantan penyalahguna NAPZA yang tidak tahan perubahan potensial kambuh. Mereka ini termasuk yang tidak disiplin. Hal-hal yang sebelumnya sudah berusaha keras ia lakukan atau hindarkan, kembali lagi ia langgar.
d. Mereka yang demam obat. Yaitu mereka yang doyan makan obat. Setiap kali sakit,  ia akan memakan obat. Suatu saat nanti ia pasti akan menjadikan NAPZA sebagai obatnya.
e. Kepribadian tanpa perlindungan. Maksudnya mereka yang sudah sembuh tidak mendapat pengawasan dari keluarganya ataupun dari teman sebaya. Mereka bisa dengan bebas kembali ke ‘habitatnya’.
f. Tidak adanya dukungan atau bimbingan dari keluarga. Hingga saat ini ada kesalahan yang tak disadari yaitu mereka yang berobat lebih banyak berorientasi pada pengobatan fisik, sementara kurang dukungan penyembuhan yang berasal dari keluarga.
 2.4.3. Proses Kambuh Kembali
Menurut Groski dan Miller (1986), proses kambuh kembali terjadi dalam sebelas tahap yaitu sebagai berikut :
Tahap ke-1 : Perubahan Dalam Diri
Terlihat baik di luar, tetapi mulai menggunakan pemikiran yang tidak sehat dan adiktif untuk mengelola perasaan negatif mengenai citra diri. Beberapa gejala sebagai berikut:
a. Stres meningkat - dapat disebabkan oleh keadaan besar atau hal-hal kecil.
b. Berubah dalam berpikir - program pemulihan tidak penting lagi.
c. Perubahan perasaan - perubahan suasana hati dan perasaan positif atau negatif    ‘    
    yang berlebihan.
d. Perubahan perilaku - tidak ikut serta pada program seperti sebelumnya,      
    mengetahui sesuatu yang salah.
   Tahap ke-2 : Menyangkal
         Mulai mengabaikan apa yang dipikirkan dan dirasakan, dan berhenti berkata jujur kepada orang lain mengenai apa yang dipikirkan dan rasakan. Beberapa gejala sebagai berikut:
a. Mengkhawatirkan tentang diri sendiri - merasa takut menggunakan NAPZA, dan memberhentikan ketakutan karena pikiran yang terlalu tidak nyaman.
b. Menyangkal diri dalam keadaan khawatir - meyakinkan diri bahwa semuanya baik,   padahal sebenarnya tidak.
   Tahap ke-3 : Menghindar dan Mempertahankan Diri
Menghindari orang atau situasi yang akan memaksa evaluasi akan kejujuran dari pemikiran, perasaan dan perubahan perilaku: dan jika dihadapkan, menjadi defensif dan tidak mendengarkan. Beberapa gejala sebagai berikut:
a.       Yakin bahwa alkohol atau obat-obatan tidak akan digunakan lagi meyakinkan diri sendiri bahwa energi tidak banyak yang dibutuhkan untuk menjaga ketenangan hati, dan menjaga ini meskipun rahasia.
b.      Khawatir tentang orang lain - lebih berfokus pada ketenangan orang lain dari pada diri sendiri, menilai program lainnya, dan membuat segala sesuatunya menjadi rahasia.
c.       Defensif - menghindari diskusi tentang masalah pribadi karena takut dikritik.
d.      Perilaku kompulsif - kembali ke cara lama, kaku dan merugikan diri sendiri dalam hal berpikir dan bertindak.
e.       Perilaku impulsif - menggunakan penilaian buruk dan menyebabkan masalah karena perilaku impulsif tanpa memikirkan dengan tuntas.
f.       Menghindari orang - merasa tidak nyaman di sekitar orang lain dan mengubah perilaku untuk menyendiri, mencari-cari alasan untuk tidak bersosialisasi, dan merasa kesepian.
Tahap ke-4 : Terbangunnya Krisis Bekerja keras untuk memecahkan masalah tetapi menyebabkan timbulnya permasalahan yang baru.
Beberapa gejala sebagai berikut:
a.    Perubahan visi-berfokus pada satu bagian kecil dari kehidupan dengan   
     mengesampingkan segala sesuatunya.
b.   Depresi - merasa sedih, tidur terlalu banyak dan kurang energi.
c.    Hilangnya perencanaan konstruktif - bukan melihat ke depan atau berpikir tentang
    apa yang harus dilakukan selanjutnya.
d.   Kegagalan rencana - rencana mulai gagal dan setiap kegagalan menyebabkan
     reaksi yang berlebihan menciptakan masalah baru dan perasaan bersalah dan
     penyesalan.
Tahap ke-5 : Immobilisasi
Merasa terjebak dalam masalah yang berkelanjutan, tidak terkendali dan merasa tidak termotivasi untuk mengambil tindakan. Beberapa gejala sebagai berikut:
a. Berangan-angan - memiliki fantasi untuk melarikan diri jika seseorang akan membantu atau suatu peristiwa akan terjadi.
b. Kekalahan - perasaan seperti kegagalan, seseorang yang tidak bisa mendapatkan sesuatu dengan benar.
c. Kebahagiaan - keinginan untuk bahagia tapi tidak tahu bagaimana mewujudkannya.
Tahap ke-6 : Kebingungan dan Reaksi Berlebihan
Bermasalah dalam hal berpikir jernih dan mengelola pikiran, perasaan dan tindakan. Beberapa gejala sebagai berikut :
a. Kesulitan berpikir jernih - masalah biasanya sederhana namun membingungkan karena mental yang jatuh dan pemikiran yang tidak terkendali.
b. Kesulitan mengelola perasaan dan emosi - bereaksi berlebihan atau menjadi mati rasa, pikiran gila.
c. Kesulitan mengingat – kesulitan mengingat sesuatu dari masa lalu dan belajar hal baru yang menjadi suatu tantangan.
d. Kebingungan - tidak tahu apa yang benar atau salah, sehat atau tidak sehat, dan tidak tahu bagaimana memecahkan masalah.
e. Ketidakmampuan mengelola stress - perasaan mati rasa dan tidak mengakui itu, merasa kewalahan tanpa alasan, tidak bisa terlepas dari situasi atau lingkungan.
Tahap ke-7 : Depresi
Merasakan bahwa hidup ini tidak layak atau berpikir untuk mengobati diri sendiri dengan obat - obatan atau alkohol untuk menghindari depresi. Beberapa gejala sebagai berikut :
a.       Makan tidak teratur – makan berlebihan atau kehilangan nafsu makan,  mengganti makanan sehat dengan siap saji.
b.      Tidak termotivasi - tidak bisa memulai dan menyelesaikan apapun dan merasa  
terjebak.
c.       Susah tidur - tidak bisa tidur, mimpi buruk dan tidak nyenyak tidur. d. Hilangnya kegiatan harian - rutinitas sehari-hari menjadi berantakan. e. Depresi mendalam - depresi diperhatikan oleh orang lain dan tidak dapat dengan mudah disangkal, merasa tidak ada yang peduli atau memahami.
Tahap ke-8 : Tingkah Laku Hilang Kontrol
Ketidakmampuan untuk mengendalikan pemikiran, perasaan, dan tingkah laku. Beberapa gejala sebagai berikut :
a.       Tidak teratur menghadiri pertemuan - mencari alasan untuk tidak pergi pertemuan    
dan bertemu dengan sponsor, membuat hal-hal lain menjadi lebih penting.
b.      Sikap tidak peduli - tidak peduli tentang masalah untuk menyembunyikan perasaan putus asa.
c.       Ketidakpuasan dengan kehidupan - perasaan ingin kembali ke alkohol dan obat-
obatan karena segala sesuatu tidak akan menjadi lebih buruk.
d.      Ketidakberdayaan - perasaan seolah-olah tidak ada yang bisa dilakukan dan tidak
ada jalan keluar.
     Tahap ke-9 : Pengakuan Atas Hilangnya Kontrol
Penolakan atas gangguan dan realisasi atas kehidupan yang tidak terkendali, masalah semakin parah, dan ada sedikit kontrol atas keadaan, ketakutan dan kecemasan akibat hasil isolasi dan merasa bahwa tidak seorangpun yang membantu.
Beberapa gejala sebagai berikut :
a.       Kesulitan dengan koordinasi fisik - pusing, kehilangan keseimbangan, koordinasi
      tangan-mata dan refleks lambat menyebabkan kecanggungan dan kecelakaan.
b.   Mengasihani diri sendiri - percaya bahwa tidak ada harapan dan merasa bersalah pada diri sendiri.
c. Pengalaman penggunaan sosial - berharap kembali ke alkohol dan penggunaan narkoba dapat dikontrol dan mungkin satu-satunya alternatif untuk merasa lebih baik.
d. Sadar berbohong - hal-hal yang dikatakan adalah kebohongan, dan tidak bisa berhenti berbohong.
e. Hilangnya kepercayaan diri – percaya pada diri sendiri hal yang tidak berguna, tidak kompeten dan tidak akan pernah mampu mengelola kehidupan.
Tahap ke-10 : Isolasi Diri
Percaya hanya ada tiga jalan keluar: gila, bunuh diri, atau pengobatan sendiri dengan zat alkohol dan atau kimia. Beberapa gejala sebagai berikut :
a.       Kebencian yang tidak masuk akal - kemarahan akibat ketidakmampuan untuk    
berperilaku dengan cara yang tidak sehat.
b.      Penghentian pengobatan - berhenti menghadiri semua pertemuan dengan konselor
dan kelompok, dan menghentikan semua pengobatan farmakoterapi.
c.       Kesepian, frustasi, kemarahan dan ketegangan - merasa tak berdaya, putus asa dan
hampir gila.
d.      Kehilangan kontrol perilaku - ketidakmampuan untuk mengendalikan pemikiran,
emosi, dan penilaian.
Tahap ke-11 : Penggunaan Alkohol dan Obat-obatan
         Kembali ke penggunaan alkohol atau obat-obatan dan cepat kehilangan kontrol. Beberapa gejala sebagai berikut :
a.       Mencoba mengendalikan penggunaannya - berencana untuk menggunakan karena sosial atau jangka pendek.
b.      Kecewa, malu dan rasa bersalah - penggunaan alkohol dan obat tidak menghasilkan hasil yang diinginkan dan kekecewaan diikuti dengan rasa malu dan rasa bersalah karena kambuh.
c.       Hilangnya kontrol - alkohol dan kimia, penggunaan narkoba di luar kendali.
d.      Hidup dan masalah kesehatan - kualitas hidup merosot sebagai masalah berat dengan hubungan, pekerjaan, keuangan, kesehatan mental dan fisik sehingga memerlukan perawatan profesional.
2.4.4. Pencegahan Kekambuhan Kembali
Pencegahan kekambuhan kembali adalah suatu metode yang sistematik bagi penyalahguna yang sedang pulih, untuk mengenal dan mengelola munculnya kembali perilaku adiktif. Tujuan program pencegahan kekambuhan kembali, meliputi :
a. Mengembangkan keterampilan untuk mengatasi situasi risiko tinggi,
b. Mengidentifikasi tanda-tanda peringatan munculnya kekambuhan,
c. Mengubah gaya hidup penyalahguna NAPZA menjadi gaya hidup sehat, dan
d. Meningkatkan kegiatan-kegiatan yang produktif.
Pencegahan kekambuhan harus menjadi bagian dari upaya pemulihan. Penyalahguna NAPZA yang telah pulih harus diajarkan keterampilan untuk mengatasi masalah. Adapun kegiatan pencegahan kekambuhan antara lain :
1. Pemulihan fisik
a) Perawatan aspek medik dan kesehatan
b) Kebiasaan makan yang sehat
c) Latihan relaksasi
d) Tidur teratur
e) Kegiatan rekreasi
2. Pemulihan psikologis dan perilaku
a) Membangun citra diri
b) Mengembangkan nilai-nilai, seperti kejujuran
c) Mengikuti kegiatan yang teratur dan terencana
d) Bekerja tepat waktu
e) Mengambil tanggung jawab dan mengelolanya
3.  Pemulihan sosial
a) Menyediakan waktu dengan keluarga dan teman-teman
b) Pergi bersama anggota keluarga
c) Makan bersama anggota keluarga
d) Mengambil peran tertentu
4. Pemulihan rohani
       Meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual. Penyalahguna NAPZA yang telah selesai mengikuti terapi atau rehabilitasi harus tetap mengikuti program pemulihan dan mengerjakan latihan atau tugas yang diberikan setiap hari selama sisa hidupnya. Jika tidak, dapat terjadi kekambuhan. Ada perjanjian antara penyalahguna NAPZA dan tempat terapi atau rehabilitasi setelah selesai terapi, agar ia mengikuti program rawat lanjut. Ia harus secara teratur menghadiri pertemuan kelompok pendukung, beroleh dukungan dan berpartisipasi aktif. Ia harus dilatih cara mengatasi rasa rindu dan mencegah kekambuhan. Orang tua pun harus memahami masalah itu dan turut membantu anak mengidentifikasi gejala kekambuhan.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan penyalahguna NAPZA yang sedang pulih agar tidak kambuh :
   a. Mengelola perasaannya secara sehat
    Cara : Membiarkan perasaan itu muncul, menarik napas panjang beberapa kali,   
               mencurahkan perasaan, mengecek perasaannya dengan kenyataan, tidak
               mempersalahkan orang lain atau keadaan, menuliskan perasaannya, tidak
                mengasihani diri sendiri, mengubah cara pandang, melakukan sesuatu yang
               positif dan menyenangkan.
b. Menghadapi persoalan secara konstruktif
    Cara :  Tidak lari dari masalah, meletakkan masalah secara proporsional,  
                membicarakannya, mendahulukan pemulihannya, menerima tanggung    
                 jawab dan tidak menyalahkan orang lain, membagi persoalan ke dalam
                 beberapa langkah kecil, menunggu, dan meminta dukungan.
c. Menghindari situasi berisiko tinggi
Ia harus menghindari situasi berisiko tinggi, yaitu orang, tempat, benda, dan suasana yang berkaitan dengan pemakaian NAPZA di masa lalu.
d. Mengatasi situasi risiko tinggi
           Jika tidak dapat menghindarkan diri dari situasi berisiko tinggi, penyalahguna terpaksa menghadapinya dengan pendampingan, menghubugi kelompok pendukung sebelum pergi ke tempat itu, dan meninggalkan segera tempat itu.
e. Mengenal tanda-tanda peringatan munculnya kekambuhan
Keluarga perlu terlatih mengenal tanda-tanda peringatan munculnya kekambuhan. Mereka harus menolong penyalahguna dengan memperingatkannya ketika tanda-tanda itu muncul.
2.5. Landasan Teori
Green (1980) dalam teorinya menganalisis masalah kesehatan dengan membagi menjadi dua faktor yaitu masalah yang berkaitan dengan faktor perilaku dan faktor non perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai. Kedua, faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik seperti ketersediaan sarana/fasilitas, informasi. Ketiga, faktor penguat (reinforcing factors), yag terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok referens, seperti petugas kesehatan, kepala kelompok atau peer group.
Banyak faktor yang memengaruhi perilaku penyalahgunaan NAPZA. secara garis besar dengan menggabungkan teori Green di atas dan beberapa peneliti sebelumnya tentang NAPZA (Prasetyaningsih, 2003; Tasman, 2005; dan Siregar, 2004) maka penyalahgunaan NAPZA disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal meliputi pendidikan, jenis NAPZA yang dipakai, pengetahuan, sikap, motivasi, dan agama dan faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, teman sebaya, masyarakat, dan lingkungan sekolah.
Penelitian ini hanya akan melihat faktor internal yang meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, motivasi, lama pemakaian NAPZA dan jenis NAPZA yang digunakan dan faktor eksternal meliputi teman sebaya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. MENGENAL ALKOHOL
     Alkohol  adalah  istilah  yang  dipakai  untuk  menyebut  etanol,  yang juga
 disebut  “grain  alkohol”  dan  kadang  untuk  minuman  yang  mengandung alkohol.
 Hal  ini  disebabkan karena  memang  etanol  yang  digunakan  sebagai bahan  dasar
 pada  minuman  tersebut,  bukan  metanol,  atau  group  alkohol  lainnya. Alcohol termaksud golonagn dari zat adiktif yang bukan tergolong narkotikadan psikotropika
 Begitu  juga dengan alkohol yang digunakan dalam dunia farmasi. Alkohol yang dimaksudkan adalah  etanol.  Sebenarnya  alkohol  dalam  ilmu kimia  memiliki  pengertian  yang lebih luas lagi.
Dalam  bidang  kimia,  alkohol  (atau  alkohol)  adalah  istilah  yang umum
 untuk senyawa organik apa pun yang memiliki gugus hidroksil (-OH) yang terikat
 pada  atom  karbon,  yang  ia  sendiri  terikat  pada  atom  hidrogen dan atau  atom
 karbon lainnya.Gugus  fungsional  alkohol  adalah  hidroksil  yang  terikat pada  karbon
 hibridisasi  sp3.  Ada  tiga  jenis  utama  alkohol – ‘primer’,  ‘skunder’,  dan ‘tersier’.
 Nama-nama  ini  merujuk  pada  jumlah  karbon  yang  terikat  pada  karbon C-OH.
 Etanol  dan  metanol  (gambar  di  bawah)  adalah  alkohol  primer.  Alkohol skunder
 yang paling sederhana adalah propan-2-ol, dan alkohol tersier sederhana adalah
  metilpropan-2-ol. Rumus kimia umu alkohol adalah CnH2n+1OH
2.1.1. Nama-nama untuk alkohol
Ada dua cara menamai alkohol: nama umum dan nama IUPAC. Nama umum biasanya dibentuk dengan mengambil nama gugus skill, lalu menambahkan kata  “alkohol”.  Contohnya  “metil  alkohol”  atau  “etil alhokol”.  Nama  IUPAC dibentuk dengan mengambil nama rantai alkananya, menghapus “a” terakhir, dan menambah “ol”. Contohnya “metanol” dan “etanol”.
Etanol  adalah  campuran  etil  alhokol  dan  air  tidak  kurang dari  94,7  %  v/v  atau 92,0% dan tidak lebih dari 95,2% v/v atau 92,7% C2H6O. Pemerian cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap, dan mudah bergerak; bau khas;  rasa  panas,  mudah  terbakar  dengan memberikan  nyala  biru  yang  tidak berasap.
Identifikasi alkohol:
a. Campur  5  tetes  dalam  gelas  kimia  kecil  dengan  1  ml  larutan kalium
permanganat  P  dan  5  tetes  sulfat  encer  P,  tutup  segera  dengan kertas saring
yang  dibasahi  dengan  larutan  segar  yang  dibuat  dengan melarutkan  100  mg
natrium nitropusida P dan 500 mg piperazina hidrat P dalam 5 ml air; terjadi
warna  biru  intensif  pada  kertas  saring  yang  setelah  beberapa menit  menjadi
lebih pucat.
b. Pada  5  ml  larutan  0,5  %  b/v,  tambahkan  1  ml  natrium hidroksida  0,1  N
kemudian  tambahkan  perlahan-lahan  2  ml  larutan  iodium,  tercium bau
iodoform dan terbentuk endapan kuning. Bobot jenis 0,8119 sampai 0,8139.
Reaksi subtitusi alcohol Dalam larutan asam, alkohol dapat mengalami reaksi subtitusi
H2SO4 CH3CH2CH2CH2 –OH + H –Bt CH3CH2CH2CH2 –Br + H20
       1-butanol Kalor 1-bromobutana (95%)
CH3 CH3 ZnCl2 CH3CH2CH-OH + H –Cl CH3CH2CH – Cl + H2O 2-butanol 2- 
klorobutana (66%) (CH3)3C – OH + H Cl (CH3)3C  Cl + H2O
v  Sifat fisis alcohol
Ø  Titik didih
          Karena  alkohol  dapat  membentuk  ikatan  hydrogen  antara molekul-molekulnya, maka titik didih alkohol lebih tinggi dari pada titik didih alkil halide atau eter, yang molekulnya sebanding.
            Bagaian  hidrokarbon  suatu  alkohol  bersifat  hidrofob  yakni menolak molekul-molekul  air.  Makin  panjang  bagian  hidrokarbon ini  akan  makin  rendah kelarutan  alkohol  dalam  air.  Makin  panjang bagian  hidrokarbon  ini  akan  makin rendah kelarutan  alkohol  dalam air.  Bila  rantai  hidrokarbon  cukup  panjang,  sifat hidrofob ini dapat mengalahkan sifat hidrofil (menyukai air) gugus hidroksil.
Tabel 2.  Beberapa Sifat Fisis Alkohol
Nama
IUPAC
Nama trivial
Rumus
Titik didih C
Rapatan g/Ml pada 20 C
Kelarutan dalam H2O
Methanol
Etanol
1-Proponal
2-Proponal
1-Butanol
Metil alcohol
Etil alcohol
Propil alcohol
Isopropil alcohol
Butil alkohol
CH3OH
CH3CH2OH
CH3CH2CH2OH
(CH3)2CHOH
CH3(CH2)3OH
64,5
78,3
97,2
82,3
117
O,79
0,79
0,80
0,79
0,81
-
-
-
-
8,3 g/100 mL
2.1.2. Sifat fisika
Gugus  hidroksil  mengakibatkan  alkohol  bersifat  polar. Alkohol  adalah asam  lemah.  Dua  alkohol  paling  sederhana  adalah metanol  dan  etanol  (nama umumnya metil alkohol dan etil alkohol) yang strukturnya sebagai berikut:
H H    H H – C – O – H H – C – C – O – H H H H Metanol Etanol
Dalam  peristilahan  umum,  “alkohol”  biasanya  adalah  etanol atau  grain alkohol.  Etanol  dapat  dibuat  dari  fermentasi  buah  atau gandum  dengan  ragi. Etanol  sangat  umum  digunakan,  dan  telah dibuat  oleh  manusia  selama  ribuan tahun.  Etanol  adalah  salah  satu obat  reakreaksi  (obat  yang  digunakan  untuk bersenang-senang) yang paling tua dan paling banyak digunakan di dunia. Dengan meminum alkohol yang cukup banyak, orang bisa mabuk. Semua alkohol bersifat toksik (beracun),  tetapi  etanol  tidak  terlalu  beracun  karena  tubuh  dapat menguraikannya dengan cepat Alkohol umum
o   Isopropil alkohol (2-propil alkohol, propal-2-ol, propanol) H3C-CH(OH)-CH3, atau alkohol gosok
o   Etilena glikol (etana-1,2-diol) HO-CH2-CH2-OH, yang merupakan kompone utama dalam antifreeze
o   Gliserin  (atau  gliserol,  propana-1,2,3-triol)  HO-CH2-CH(OH)-CH2-OH  yang terikat dalam minyak dan lemak alami, yaitu trigliserida (triasilgliserol)
o   Fenol adalah alkohol yang gugus hidroksilnya terikat pada cincin benzene Alkohol  digunakan  secara  luas  dalam  industri  dan laboratorium  sebagai pereaksi, pelarut, dan bahan bakar. Ada lagi alkohol yang digunakan secara bebas, yaitu  yang  dikenal  di masyarakat  sebagai  spiritus. Awalnya  alkohol  digunakan secara bebas  sebagai  bahan  bakar.  Namun  untuk  mencegah penyalahgunaannya untuk makanan dan minuman, maka alkohol tersebut didenaturasi.
Penggunaan  minuman  beralkohol  sebagai  campuran makanan  dan minuman  cukup  luas  dan  bervariasi  dalam  berbagai bentuk  yang  sering  tidak isadari keberadaannya oleh konsumen. Minuman  beralkohol  tidak  hanya  menyebabkan  mabuk,  akan tetapi  padatingkat  tertentu  dapat  menyebabkan  kematian.  Pada tingkat  kandungan 0,05-0,15% etanol dalam darah peminum akan mengalami kehilangan koordinasi, padatingkat  0,15-0,20%  etanol menyebabkan  keracunan,  pada  tingkat  0,30-0,40%peminum hilang  kesadaran  dan  pada  tingkat  yang  lebih  tinggi  lagi  yaitu 0,50  % dapat menyebabkan kematian.
2.2.   PEMBUATAN MINUMAN BERALKOHOL
Minuman  beralkohol  dibuat  dengan  cara  fermentasi  khamir dari  bahan baku  yang  mengandung  pati  atau  gula  tinggi.  Bahan  baku yang  umu  dipakai adalah  biji-bijian  (seperti  jagung,  beras,  gandum, dan  barley),  umbi-umbian (seperti, kentang dan ubi kayu), buah-buahan (seperti anggur, apel, pear, cherry), tanaman  palem  (seperti  aren, kelapa,  siwalan,  nipah),  gula  tebu  dan  gula  beet, serta  moless. Khusus  bahan  baku  biji-bijian,  sebelum  proses  fermentasi berlangsung,  bahan-bahan  tersebut  diproses  terlebih  dahulu  dengan cara merendamnya sampai menjadi kecambah, kemudian direbus dan diproses menjadi bubur dan dimasak kembali.
Lamanya  proses  fermentasi  tergantung  kepada  bahan  dan jenis  produk yang  akan  dihasilkan.  Proses  pemeraman  singkat (fermentasai  tidak  sempurna) yang  berlangsung  sekitar  1-2  minggu dapat  menghasilkan  produk  dengan kandungan  etanol  3-8%. Contohnya  adalah  produk  bir.  Sedangkan  proses pemeraman  yang lebih  panjang  (fermentasi  sempurna)  yang  dapat  mencapai waktu bulanan  bahkan  tahunan  seperti  dalam  pembuatan  anggur  dapat menghasilkan produk dengan kandungan etanol sekitar 7-18%. Kandungan etanol  yang dihasilkan dalam fermentasi minuman beralkohol biasanya  berkisar  sekitar  18%  karena  pada  umumnya  khamir  tidak dapat  hidup pada lingkungan dengan kandungan etanol di atas 18%. Jadi untuk menghasilkan minuman beralkohol dengan kandungan etanol yang lebih tinggi, dilakukan proses distilasi  terhadap  produk  yang  dihasilkan melalui  proses  fermentasi.  Kelompok produk  yang  dihasilkan dinamakan  distilled  beverages.  Cara  produksi  yang  lain untuk menghasilkan  minuman  berkadar  etanol  tinggi  adalah  dengan  cara mencampur  produk  hasil  fermentasi  dengan  produk  hasil  distilasi. Contohnya adalah  produk  “port  wine”  dan  “sherry”  yang  termasuk kelompok  “fortified wine”. Pada produk tertentu, untuk menghasilkan cita rasa yang diinginkan, dapat dilakukan penambahan bahan-bahan tertentu seperti herba, buah-buahan, ataupun bahan flavoring.
2.3. KANDUNGAN ETANOL DALAM MINUMAN BERALKOHOL
Kandungan etanol minuman beralkohol dapat dinyatakan dalam % volume per volume (% v/v) % berat per berat (% b/b) atau dinyatakan dalam proof. Nilai proof  merupakan  rasio  2:1  dibandingkan  kandungan etanol  dalam  %  volume. Contohnya,  minuman  dengan  kandungan etanol  40%  (v/v)  sebanding  dengan  80 proof.
 Berdasarkan  Peraturan  Menteri  Kesehatan  RI  No. 86/Menkes/Per/IV/77 tentang  minuman  keras,  minuman  beralkohol dikategorikan  sebagai  minumankeras  dan  dibagi   menjadi  3  golongan berdasarkan  persentase  kandungan  etanol volume  per  volume pada suhu  20  øC.  Minuman  dengan  kadar  etanol  1 -5  % dikategorikan sebagai minuman keras golongan A, minuman dengan kadar etanol lebih dari  5    %  sampai  dengan  20    %  tergolong  minuman  keras golongan  B sedangkan  minuman  dengan  kadar  etanol  golongan  C mengandung  etanol  lebih dari 20 % sampai 55 %.
2.4. JENIS-JENIS MINUMAN BERALKOHOL
Secara  umum  anggur  dan  brandy  merupakan  minuman beralkohol  yang dibuat  dari  buah  anggur,  jika  tidak  disebut  jenis buahnya  secara  spesifik  seperti plum anggur (terbuat dari buah pulm) atau cherry brandy (terbuat dari buah ceri). Dari  jus  apel  dapat  dibuat minuman  cider.  Di  Amerika  dan  Kanada,  cider  atau sweet  cider merupakan  istilah  untuk  jus  apel  yang  tidak  difermentasi,  sedangkan jus  apel  yang  difermentasi  disebut  hard  cider.  Di  Inggris,  istilah cider  selalu digunakan untuk minuman beralkohol. Akan tetapi di Australia, istilah cider dapat  digunakan  baik  untuk  produk  beralkohol ataupun  tidak.  Hasil  distilasi  cider dengan proses pembekuan menghasilkan produk yang dinamakan applejack.
Bir secara  umum  terbuat  dari  barley.  Akan  tetapi  dapat  juga terbuat  dari campuran  beberapa  jenis  biji-bijian.  Minuman  beralkohol yang  dibuat  dari campuran  beberapa  jenis  biji-bijian  dikenal  dengan nama  whisky.  Jenis-jenis whisky seperti scotch, rye, dan bourbon menunjukkan jenis biji-bijian utama yang digunakan dengan tambahan biji-bijian lain (yang paling sering adalah barley dan kadang-kadang oat).
Dua  jenis  minuman  hasil  penyulingan  yang  paling  umum adalah  vodka dan  gin.  Vodka  dapat  merupakan  hasil  distilasi  dari fermentasi  berbagai  jenis bahan  dimana  biji-bijian  dan  kentang merupakan  sumber  yang  paling  umum.
Karakteristik vodka yang utama adalah dilakukannya proses distilasi secara tuntas sehingga  aroma  bahan  asal  sudah  tidak  tersisa sama  sekali.  Sedangkan gin merupakan  hasil  distilat  seperti  vodka yang  diberi  flavor  dengan  cara menambahkan herba ataupun jenis-jenis tumbuhan lain khususnya juniper berries. Nama gin sendiri berasal dari nama minuman genever  yang berasal dari  Belanda yang berarti juniper. Dengan  mengenal  jenis-jenis  minuman  beralkohol  seperti  diuraikan  di atas, diharapkan konsumen muslim menghindarkan diri dari penggunaannya. Ir.  Muti  Arintawati  MSi,  auditor  LP  POM  MUI. Kandungan  beberapa  minuman beralkohol dapat dilihat pada tabel berikut:
Jenis minuman Kandungan Etanol (%)
Bir 3-5                                                             Genever Min. 30
Anggur 9 -18                                                   Cognac Min. 35
Anggur obat 9 – 18                                         Brandy Min. 30
Liquor Min. 24                                                Gin Min. 38
Whisky Min. 30                                              Arak Min. 38
Rum Min. 38                                                   Vodka Min. 40
2.5. GOLONGAN MINUMAN BERALKOHOL
Pasal 2
(1) Minuman beralkohol dikelompokkan sebagai berikut:
a)      Minuman beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol (C2H5OH) 1% (satu perseratus) sampai dengan 5% (lima perseratus);
b)      Minuman beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol  (C2H5OH)  lebih  dari  5%  (lima  perseratus)  sampai dengan  20%  (dua puluh perseratus);
c)      Minuman  beralkohol  dengan  kadar  etanol  (C2H5OH)  lebih  dari 2,5%  (dua setengah perseratus) sampai dengan 55% (lima puluh lima perseratus).
(2) Minuman  beralkohol  dengan  kadar  etanol (  C2H5OH)  lebih  dari 2,5%  (dua setengah  perseratus)  sampai  dengan  55%  (lima  puluh perseratus)  adalah kelompok  minuman  beralkohol  yang  produksi, peredaran  dan  penjualannya ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan.
2.6. PENGARUH MINUMAN BERALKOHOL
Adapun  manfaat  alkohol  seperti  kegunaannya  sebagai  agen pembunuh kuman,  penawar  untuk  keracunan  metanol,  atau  agen penyejuk  bagi  melegakan demam  panas.  Namun  begitu,  memang  tidak dapat  disangkal  bahwa  keburukan daripada kesan meminum alkohol jauh mengatasi kebaikannya. Alkohol  yang  dimaksud  dalam  pembahasan  disini ialah  etil  alkohol  atau etanol, suatu senyawa kimia dengan rumus C2H5OH. Minuman beralkohol adalah minuman  yang  mengandung  alkohol  (etanol) yang  dibuat  secara  fermentasi  dari berbagai  jenis  bahan  baku  nabati yang  mengandung  karbohidrat,  misalnya  :  biji-bijian, buah-buahan, nira dan lain-lain; atau yang dibuat dengan cara distilasi hasil fermentasi  yang disebutkan  diatas;  atau  yang  sengaja  ditambahkan  alcohol kedalamnya ; termasuk kedalamnya adalah minuman keras klasifikasi A, B dan C. Anggur, obat  anggur  kolesom,  arak  obat  dan  minuman-minuman  sejenis yang mengandung  alkohol  termasuk  kedalam  minuman  beralkohol.  Berapapun kadar alkohol pada minuman beralkohol tetap dinamakan minuman beralkohol.
Dampak negatif dari minuman beralkohol lebih besar dari efek positifnya, seperti  misalnya  :  pengaruh  buruk  terhadap  kesehatan  jasmani dan  rohani, kriminalitas,  kenakalan  remaja,  kamtibmas  dan  ketahanan nasional.  Dampak positif alkohol sebagai obat yang diminum sudah dapat diganti dengan bahan lain. Namun pada obat luar/obat oles masih digunakan. Pengaruh  ketagihan  akibat  meminum  alkohol  bukannya  bergantung kepada  jenis  alkohol  tetapi  jumlah  yang  diminum  pada  satu-satu  masa. Pada dasarnya terdapat dua pengaruh yang ketara pada penagih alkohol yaitu pengaruh jangka pendek dan jangka panjang.
Pengaruh  jangka  pendek  yang  membabitkan  pengambilan  lebih kurang satu  botol  besar  menjadikan  seseorang  itu  kurang  daya koordinasi  seperti  tidak boleh  berjalan  dengan  betul  dan  tidak  boleh membuka  pintu.  Dalam  masa  yang singkat  ini  boleh  menyebabkan hangover. Hangover lazimnya  disebabkan  oleh keracunan  alkohol,  bahan lain  dalam  alkohol  dan  tindakbalas  ketagih  alkohol.
Tanda-tanda hangover termasuklah  sakit  kepala,  loya,  muntah, diare,  gangguan pergerakan usus dan menggeletar selama delapan dan 12 jam kemudian Pengaruh  jangka  panjang  akan  dirasai  setelah meminumnya  selama beberapa  bulan  atau  tahun.  Pengaruh  utamanya adalah  seperti  sakit jantung,  hati atau  penyakit  dalam  perut.  Apabila situasi  ini  terjadi  mereka  akan  kurang  selera makan,  kekurangan vitamin,  mudah  diserang  penyakit,  haid  tidak  lancar.
Kematian yang awal adalah lebih kerap pada orang yang terlalu banyak meminumalkohol,  terutamanya  daripada  sakit  jantung  atau  hati, radang  paru-paru,  kanker, keracunan alkohol yang kuat, kecelakaan, pembunuhan dan bunuh diri.
Pengaruh pada otak Pada  dasarnya  setelah  diminum,  alkohol akan  meresap  dari  usus  kecil  ke dalam darah. Alkohol terus dibawa ke jantung kemudian dibawa ke seluruh tubuh.Dari  sini  ia  terus  meresap  ke dalam  otak  dan  seterusnya  ke  urat  saraf.  Otakmerupakan  salah  satu organ  penting  yang  dimiliki  oleh  manusia  karena  otaklah yang mengontrol segala kegiatan
Ø Pengaruh pada hati
Pengaruh  alkohol  yang  paling  bahaya  adalah  pengaruh  pada hati.  Setiap kali  seorang  peminum  mengambil  alkohol,  hatinya  mendapat luka.  Sel  hati  akan mati  dan  menjadi  mengecil.  Hal  ini  akan  mengurangi kemampuan  hati  untuk berfungsi dengan sempurna. Pengecilan yang serius akan menyebabkan hati tidak dapat  berfungsi  langsung.  Keadaan  ini disebut  sirosis  hati  dan  boleh  membawa maut.
Pembengkakan hati (hepatitis) juga bisa disebabkan oleh kelebihan toksik alkohol.  Pada  mulanya  menyebabkan  hati  mengembang  dan  lama kelamaan saluran darah akan mengecil. Ini menyebabkan darah tidak dapat mengalir ke hati dengan sempurna dan akhirnya saluran darah akan membengkak lalu pecah. Pada peringkat  kritikal  pengidap  hepatitis  akan mengalami  muntah  darah  dan  kotoran mereka akan bercampur dengan darah.
Ø Pengaruh pada saraf
Kerusakan  saraf  dapat  menyebabkan  berbagai  jenis  penyakit seperti sindrom  Wernicke-Korsakoff  dan  kerusakan  sel-sel  otak,  yang seterusnya membawa  kepada  komplikasi  psikiatri.  Peminum  mengalami halunisasi pendengaran, amnesia, paranoia, depresi, dan kecenderungan membunuh diri.
Ø Pengaruh pada janin
Peminum alkohol kronik yang sedang hamil menyebabkan kandungannya mempunyai  ciri-ciri  kecacatan  seperti  kekurangan  berat badan,  ukuran  kepala yang  terlalu  kecil  berbanding  tubuh,  keadaan muka  yang  rata,  dan  kelemahan sendi-sendi.  Selain  daripada  pengaruh-pengaruh  di  atas,  alkohol  juga  bertindak dengan  berbagai  sistem  dan organ  tubuh.  Contohnya,  pengaruh  terhadap  system peredaran  tubuh menyebabkan  darah  lebih  banyak  dialirkan  ke  kulit.  Ini menyebabkan kulit  peminum  menjadi  kemerah-merahan.  Peminum  alkohol  juga didapati lebih  cenderung  sering  membuang  air  kecil  karena  etanol  dapat meningkatkan hormon penahan kecing. Alkohol juga menyumbang kalori Konsumsi minuman alkohol di Negara-negara maju naik dengan pesat ke titik  di  mana  alkohol  memberikan  suatu  sumbangan  kalori  rata-rata yang  berarti, yang  pada  orang  dewasa  nonalkoholik  mungkin  mendekati 12%.  Alkohol  yang dalam  hal  adalah  etanol  memiliki  kandungan  energi yang  tinggi,  yaitu menghasilkan  kira-kira  7,1  kkal/g  pada  oksidasi,  nilai ini  terletak  di  antara senyawa  karbohidrat  dan  lemak.  Selain  itu, energinya  tersedia  secara  biologis dalam bentuk ATP melalui lintas metabolisme yang diketahui secara baik. Etanol dioksidasi  menjadi esatadehida  di  dalam  hati  oleh  kerja  alkohol  dehidrogenesa sitosol, yang mengandung NAD+ sebagai aseptor.
CH3CH2OH + NAD+ CH3 – C – H + NADH + H+O
Ø Etanol Asetaldehid
Asetadehida  kemudian  dioksidasi  menjadi  asetat  enzim mitokondrion,  aldeheda dehidrogenase yang juga berkaitan dengan NAD.
CH3 – C – H + NAD+ + H2O CH3COOH + NADH + H+ O
Kedua NADH  yang terbentuk dalam reaksi ini akhirnya menyumbangkan ekivalen  yang  bersifat  nereduksi  ke  rantai  pernafasan mitokondrion. Pengangkutan electron ke oksigen selanjutnya menghasilkan pembentukan 2(3) = 6  molekul  ATP  dari  ADP  dan  Pi.  Asetat  yang terbentuk  dari  etanol  kemudian diaktifkan  di  dalam  hati  oleh  asetil-KoA sintetase  berantai  untuk  membentuk asetil-KoA.
CH3COOH + CoA – SH + ATP CH3 – C – S CoA + AMP + Ppi
Asetil-KoA  yang  dibentuk  tersebut  pada  akhirnya  dioksidasikan melalui siklus  asam  sitrat.  Alkohol  sering  kali  dikatakan  sebagai senyawa  yang  tidak mengandung kalori.
Ø  Farmakologi klinik etanol
Etanol  adalah  penyebab  dari  morbiditas  (angka  kesakitan)  dan mortalitas(angka  kematian)  yang  lebih  dapat  dicegah  dari  pada  semua obat-obat lain yang dikombinasi dengan pengecualian tembakau. Penyalahgunaan  alkohol  pada  umumnya  memberikan  hasil  yang mengecewakan.  Tipe  kepribadian,  tekanan-tekanan  kehidupan  yang berat,  dan model  peran  orang  tua  bukanlah  predikator-predikator  yang reliabel  dari penyalahgunaan  alkohol.  Sementara  faktor-faktor  lingkungan secara  nyata memegang  peranan,  bukti  menunjukkan  bahwa  ada  peran genetika  yang  sangat besar dari perkembangan terjadinya alkoholisme.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 ALKOHOL
Minuman yang mengandung alkohol (etanol) apabila dikonsumsi terus menerus menyebabkan enzim pencernaan yang mengoksidasi etanol akan menjadi jenuh sehingga menyebabkan penya
kit alkoholik pada manusia. Selain itu alkohol dapat menghambat susunan saraf pusat dan menimbulkan ketergantungan yang disebut alkoholisme.
Alkohol merupakan salah satu senyawa kimia yang sering disalahgunakan. Alkohol termasuk ke dalam golongan stimulan yang merupakan bagian dari Narkotika Psikotropika dan Zat adiktif (Napza). Arak merupakan hasil destilasi dari nira kelapa, bila dikonsumsi dapat sebagai penghangat badan terutama di daerah pegunungan. Kadar etanol yang tinggi dapat diperoleh dalam arak dengan beberapa kali destilasi untuk tujuan bahan bakar (Yeliana dan Wirawan, 2005). Telah dilakukan penentuan kadar etanol dalam arak yang beredar di pasaran dengan kadar etanol sekitar 20,08 – 70,08 % (b/v). Minuman beralkohol yang mempunyai  kadar etanol melebihi 55% dapat menyebabkan keracunan bahkan kematian (Suaniti dan Widya, 2011). Hal ini merupakan salah satu kasus penyalahgunaan minuman beralkohol yang terjadi di masyarakat.
Sebanyak ± 98% etanol di dalam tubuh akan teroksidasi menjadi asetaldehid dan asetat, sedangkan ± 2% dieksresi melewati ginjal dan dikeluarkan melalui urin (Harry, 2010). Kadar etanol dalam darah bervariasi tergantung pada oksidasi jaringan, sedangkan pemeriksaan kadar etanol dalam urin lebih akurat karena kadar etanol dalam urin lebih stabil (Nisak, 2008).
Metode analisis yang akurat digunakan di laboratorium untuk pengujian etanol dalam urin pada penyalahgunaan minuman beralkohol umumnya menggunakan Gas Chromatography (GC). Metode ini spesifik untuk identifikasi dan penentuan kadar etanol serta dapat digunakan untuk pemisahan campuran alkohol seperti metanol dan isopropanol secara simultan
MATERI DAN METODE
Ø  Bahan
Bahan – bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah metanol (CH3OH), etanol (CH3CH2OH), butanol (C4H9OH), asam asetat dan aquades. Sampel adalah urin sukarelawan yang telah mengkonsumsi arak.
Ø  Peralatan
Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu ukur 10 mL, pipet mikro, pipet volume, gelas beker 100 mL, Gas Cromatography (GC-agilent Technologies 6890-N Network GC System), kolom HP InnoWax panjang 30 m; diameter 0,32 μm dan laju alir 0,70 mL/menit, dengan fase diam polietilen glikol, detektor ionisasi nyala (Flame Ionization Detector, FID), gas pembawa helium (He), dan make-up gas nitrogen (gas tambahan).
Ø  Cara Kerja
·         Pembuatan larutan standar
Larutan metanol, etanol, butanol 99,9% dan ρ 0,79 kg/L berderajat pro analisis (p.a), masing-masing dipipet sebanyak 12,67 μL  kemudian diencerkan dengan aquades di dalam labu ukur sampai 10 mL sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 1000 ppm. Selanjutnya larutan tersebut dipipet 0,50 mL diencerkan dengan aquades sampai 10 mL sehingga diperoleh larutan metanol 50 ppm. Larutan asam asetat p.a dipipet sebanyak 9,5 mL kemudian diencerkan dengan aquades di dalam labu ukur 10 mL, sehingga diperoleh larutan 1000 ppm. Larutan tersebut dipipet 0,50 mL diencerkan dengan aquades sampai 10 mL sehingga diperoleh larutan asam asetat 50 ppm.
·         Optimasi kondisi gas chromatography
Larutan metanol, etanol, butanol dan asam asetat masing – masing dengan konsentrasi 50 ppm diinjeksikan ke dalam injektor kromatografi gas sebanyak 1,0 μL pada kondisi analisis. Setelah dipilih dan diperoleh kondisi kromatografi gas, larutan campuran metanol, etanol, butanol dan asam asetat dengan perbandingan 1:1:1:1 konsentrasi 50 ppm diinjeksikan ke dalam injektor gas chromatography sebanyak 1,0 μL.  
           
·         Penentuan Kadar Etanol dalam Urin
Sebanyak 0,50 mL sampel urin diencerkan dengan akuades dalam labu ukur 10 mL ditambahkan standar internal butanol sebanyak 0,50 mL. selanjutnya larutan tersebut dipipet sebanyak 1,00 μL kemudian diinjeksikan ke dalam injektor gas chromatography
Kadar Etanol dalam Urin
Sukarelawan
Range Kadar Etanol dalam Urin ( x 10-2 % (b/v) )
                      4 jam
4 jam    8
12 jam
16 jam
20 jam
24 jam
I
12,66-12,77
8,96-9,08
12,49-12,59
7,36-7,49
9,80-9,96
10,62-10,79
II
5,80-5,87
4,86-5,79
4,87-4,97
5,87-6,31
6,62-6,72
5,18-5,29
III
8,12-8,29
10,35-10,52
9,07-9,22
9,17-9,39
9,86-9,99
8,66-8,74












HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum melakukan pengukuran sampel dilakukan optimasi dan validasi terhadap kondisi gas chromatography. Kondisi analisis yang dipergunakzan yaitu suhu injektor 2500C, suhu detektor 3000C, dengan split rasio 20. Suhu awal kolom 500 C ditahan dua menit pada suhu tersebut, ditingkatkan secara bertahap sebesar 100 C/menit sampai suhu mencapai 2200 C dan ditahan selama lima menit. Laju alir dari kolom yang terpilih adalah 0,7 mL/menit. Laju alir gas helium 40 mL/ menit, laju alir nitrogen 50 mL/ menit dan laju udara sebagai pengoksida 450 mL/menit.
Penentuan kadar etanol dalam urin dilakukan dengan cara, sampel urin yang diperoleh dari sukarelawan diencerkan sampai 20 kali, sebanyak 1,0 μL diinjeksikan ke dalam alat kromatografi gas. Sampel diperoleh dari tiga orang sukarelawan yang telah memenuhi kriteria. Pengambilan sampel dilakukan hari terakhir setelah pemberian arak selama 2 minggu. Sampel diambil selama 24 jam dalam selang waktu 4 jam. Sampel di tampung setelah 2 minggu karena pemberian arak dilakukan secara akut. Kontrol yang digunakan yaitu sukarelawan yang tidak mengkonsumsi arak. Pada kontrol dilakukan analisis terhadap urin dan mendapat kan hasil analisis yaitu dalam urin kontrol tidak terdeteksi kadar etanol.
Hasil analisis sampel menunjukkan sampel urin hanya mengandung etanol dan dapat dianalisis sampai 24 jam pengambilan sampel. Berdasarkan perhitungan hasil analisis diperoleh kadar etanol dalam sampel urin masing – masing sukarelawan ditunjukkan dalam Tabel 1.
Hasil perhitungan diperoleh dengan menentukan luas puncak terkoreksi dari masing-masing sampel urin. Standar campuran yang digunakan sebagai acuan yaitu standar campuran 50 ppm. Luas puncak yang digunakan dapat ditentukan dengan kromatogram sampel urin pada lampiran 5. Penentuan kadar etanol yang terdapat dalam sampel dilakukan dengan menggunakan data luas puncak terkoreksi dalam kromatogram hasil analisis sampel diplot dengan kurva linieritas dari senyawa standar.
Hasil perhitungan menunjukkan kadar etanol dalam urin sukarelawan berbeda – beda. Hal ini disebabkan karena kecepatan metabolisme dan penyerapan etanol oleh tubuh manusia berbeda yang dipengaruhi beberapa faktor yaitu jumlah kandungan air dalam tubuh, berat badan, dan keadaan mukosa lambung. Menurut Hary 2010 kecepatan metabolisme etanol di dalam tubuh
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi kesehatan, berat badan, kebiasaan mengkonsumsi etanol, keadaan mukosa lambung dan jumlah kandungan air dalam tubuh, hal ini mendukung hasil perhitungan data analisis yaitu konsentrasi etanol dalam urin masing – masing sukarelawan berbeda
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
1  Simpulan
Deteksi etanol dalam urin setelah 4,8, 12, 16, 20, dan 24 jam konsumsi 2 minggu terakhir dengan gas chromatography berturut – turut adalah (8,86 – 8,98) x 10-2; (8,06 – 8,46) x 10-2; (8,81 – 8,93) x 10-2; (7,47 – 7,73) x 10-2; (8,76 – 8,89) x 10-2; dan (8,15 – 8,27) x 10-2% (b/v).
2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai analisis biomarker etanol setelah konsumsi arak para sukarelawan dalam cairan biologis lainnya seperti darah dan saliva dengan gas chromatography.
DAFTAR PUSTAKA
Harry, 2010, Mekanisme Alkohol dalam Tubuh, http://wwwkim hunter.blogspot.com/ 2010/08/siklus-alkohol-dalam-tubuh. html, diakses pada tanggal 20 Juni 2011
Hendrayana, Sumar, 2006, Kimia Pemisahan Metode Kromatografi dan Elektroforesis Modern, PT Remaja Rosdakarya, Bandung
Nisak, Nashirotu, 2008, Penentuan Kadar Alkohol dalam Urin dengan Kromatografi Gas, Skripsi, Jurusan Kimia-FMIPA, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran
Suaniti, N. M. and Widya, N. P., 2011, Ethanol Levels in Arak Market by Gas Chromatography Techniques, Proceeding, International Conference on Chemistry and Biochemistry, Udayana University, Bali
Yeliana dan Wirawan, I. K. G., 2005, Arak Bali Sebagai Bahan Bakar Alternatif, Jurnal, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar